Tatto part I

Tatto Bau…!

Berawal dari pertemanan yang tak sadar menggiringku kesebuah lapak seni tatto di sebuah pusat perbelanjaan terkemuka ibukota, beralaskan peralatan ala kadarnya si abang memulai dagangannya. Dengan seret cerita member yang silih berganti datang dan pergi membawa duka, penyesalan, atau mungkin kebanggaan.

Selang beberapa jam tak lama matahari mulai menunjukan dirinya, datang seorang calon pasien bertanya:

Pasien  : bang klo benerin or ngerapihin tato di kaki berapa ya?

Abang  : pe’go aja dah

Pasien  : mungkin mikir atau bingung (diam sejenak) ga bisa gocap bang?

Abang  : ya jangan gitu lah bos, belom dapet

Pasien  : 75 bisa ya…!

Abang  : ya bos pikir aje ndir, jarum udah berapa? Belom tinta sama2 bertato taulah bos!

Pasien : makasih ya bang (seraya melangkah tanda ga jadi)

Abang  : ya elah belom bau kaki lo….! (geram)

Dengan nada kesal si abang mulai bercerita tentang sejarah berdarah lapak tatto tersebut. Mulai dari pertikaian ras hingga backing tak tetap ternyata melahirkan bentrokan dan pertikaian berbuah tewasnya rekan beberapa geng, namun semua itu tak lagi penting, kini semua itu tak diperlukan lagi toh sama-sama cari makan.

Selanjutnya..

Perih

Perjalanan ini sunguh sederhana, dan dengan kesederhanaan itu pula aku memandangnya. Perlahan tapi pasti waktu demi waktu di mulai dan terlewati. Kita adalah mahkluk sejarah yang menulis kisah tentang diri sendiri, siapakah dia, tua, muda, kecil atau pun besar akan kembali pada jalan hidupnya masing-masing. Bercengkrama dengan lingkungan yang tak lagi bersahabat, cerita itupun dimulai. Dari sebuah desa terpencil yang dipinggirkan oleh derasnya ombak pembangunan yang kian hari memaksa ku untuk terus berjuang keras demi untuk bertahan hidup, dan memaksa ku untuk tetap ada disini. Ibu dengan nyawanya melahirkan dan membesarkan ku tak lagi gagah menopang badannya yang kian renta, berdindingkan gubuk bambu yang dingin menahan hujan pun sesalu menari menjelang malam menghampiri. Tak lupa dengan setia dendang lagu yang menulis nada sumbang menemani tidurku takala lapar.

Selanjutnya..

Terus Melangkah

Kita tak ingin membuang waktu untuk melayangkan pikiran kita tanpa arah yang jelas, berhasrat dengan keinginan kita yang tak pernah puas. Seolah kita terus dikejar oleh rasa yang tak pernah berhenti untuk mendorong mendapatkan hal-hal yang orang lain juga impikan.  Hentikan khayalanmu itu, karena hanya akan meninabobokan waktu yang kian saat meninggalkan kita. Sifat dasar kita sebagai makhluk social kerap menunjukan wujudnya untuk saling menguasai dan rakus tanpa putus. Apapun itu yang jelas luangkan waktu kita untuk berbuat dan melakukan sesuatu yang bermanfaat, dan membiasakan diri kita untuk terus melangkah dengan kebiasaan yang baik.

Selanjutnya..